Membongkar Perjuangan Hasan Tiro



SABTU, 30 Oktober 1976, sekitar pukul 8.30 pagi. Perahu yang
ditumpangi Hasan Tiro dari Malaysia merapat di Pasi Lhok, sebuah desa
nelayan di pantai utara Aceh. Dari tempat itu dia melanjutkan perjalanan
ke arah timur.
Foto diambil The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan Di Tiro.
Sekitar pukul 6.00 sore Hasan Tiro tiba di Kuala Tari. Sekelompok
laki-laki yang dipimpin M. Daud Husin telah menunggu kehadirannya. Malam
itu juga mereka berangkat menuju Gunung Seulimeun.
“Itu adalah malam pertama di tanahairku setelah selama 25 tahun aku
tinggal di pengasingan di Amerika Serikat,” tulis Hasan Tiro dalam
bukunya The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan Di
Tiro yang diterbitkan tahun 1984.
Itu adalah kunjungan rahasia dengan misi tunggal memerdekakan Aceh.
“Tak ada seorang pun di negeri ini yang mengetahui kedatanganku,” tulis Hasan Tiro.
“Aku sudah lama memutuskan bahwa Deklarasi Kemerdekaan Aceh Sumatera
harus dilakukan pada tanggal 4 Desember dengan alasan simbolis dan
historis. Itu adalah hari dimana Belanda menembak dan membunuh Kepala
Negara Aceh Sumatera, Tengku Cik Mat di Tiro dalam pertempuran di Alue
Bhot, tanggal 3 Desember 1911. Belanda karenanya mencatat bahwa 4
Desember 1911 adalah hari akhir Aceh sebagai entitas yang berdaulat, dan
hari kemenangan Belanda atas Kerajaan Aceh Sumatera.”
Maka begitulah, di Bukit Cokan dia menuliskan Deklarasi Kemerdekaan
Aceh, melanjutkan perjuangan Tengku Cik di Tiro dan para leluhurnya. Dan
tanggal 4 Desember 1976 deklarasi kemerdekaan itu pun dibacakan.
“Kami, rakyat Aceh, Sumatera, menggunakan hak kami untuk menentukan
nasib sendiri dan melindungi hak sejarah kami akan tanahair kami, dengan
ini menyatakan bahwa kami merdeka dan independen dari kontrol politik
rejim asing Jakarta dan orang asing dari Pulau Jawa. Tanah Air kami,
Aceh, Sumatra, selalu merdeka dan independen sebagai Negara yang
Berdaulat sejak dunia diciptakan…”
Catatan: Teks di atas merupakan paragraph pertama dari
Deklarasi Kemerdekaan Aceh yang saya terjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dari buku The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku
Hasan Di Tiro. Teks asli adalah sebagai berikut:
“We, the people of Acheh, Sumatra, exercising our right of
self-determination, and protecting our historic right of eminent
domain to our fatherland, do hereby declare ourselves free and
independent from all political control of the foreign regime of
Jakarta and the alien people of the island of Java. Our
fatherland,
Acheh, Sumatra, had always been a free and independent
Sovereign State
since the world begun…”
Anak kedua pasangan Tengku Muhammad Hasan dan Pocut Fatimah ini lahir
di Tiro 25 September 1925. Dia memperoleh gelar doktor di bidang hukum
internasional dari Colombia University. Di negeri itu ia menikah dengan
Dora seorang wanita Amerika Serikat keturunan Yahudi. Di masa-masa itu
pula Hasan Tiro pernah bekerja di KBRI dan membangun jaringan bisnis di
bidang petrokimia, pengapalan, penerbangan, dan manufaktur hingga ke
Eropa dan Afrika. Hasan Tiro juga menjelaskan hal ini dalam bukunya The
Price of Freedom.
Pandangan politiknya mulai berbalik 180 derajat ketika pemerintah
Indonesia di masa Perdana Menteri Ali Sastroamidjo (1953-1955) mengejar
pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) hingga ke pedalaman
Aceh. Hasan Tiro memprotes tindakan itu. Bulan September 1954 dia
mengirimkan sepucuk surat kepada sang perdana menteri
Kecewa dengan sikap pemerintah Indonesia, Hasan Tiro kemudian
meninggalkan KBRI. Dia bergabung dengan DI/TII Aceh yang dideklarasikan
mantan Gubernur Militer Aceh (1948-1951) Daud Beureuh tanggal 20
September 1953 sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) yang
dideklrasikan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampah,
Tasikmalaya, 7 Agustus 1949. Di DI/TII Aceh Hasan Tiro menjabat sebagai
menteri luar negeri, dan karena jaringannya yang dianggap luas di
Amerika Serikat dia pun mendapat tugas tambahan sebagai “dutabesar” di
PBB.
Setidaknya ada beberapa sebab praktis yang ikut mendorong
pemberontakan DI/TII yang secara bersamaan terjadi di tiga propinsi,
Aceh, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Pertama berkaitan dengan
rasionalisasi tentara. Banyak tentara dan laskar rakyat yang ikut
berjuang dalam perang revolusi tidak dapat diakomodasi sebagai tentara
reguler. Kedua, pemberontakan ini juga merupakan ekspresi kekecewaan
terhadap hubungan pemerintahan Sukarno yang ketika itu semakin dekat
dengan kubu komunis.
Di tahun 1961 Daud Beureuh mengubah Aceh menjadi Republik Islam Aceh
(RIA). Tetapi di saat bersamaan, gerakannya mulai melemah setelah SM
Kartosoewirjo dilumpuhkah. Adapun Kahar Muzakar dinyatakan tewas dalam
sebuah pertempuran di belantara Sulawesi tahun 1965.
Adalah Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel M. Jassin, yang
berhasil meyakinkan Daud Beureuh untuk kembali bergabung dengan Republik
Indonesia. Tanggal 9 Mei 1962 Daud Beureuh ditemani antara lain
komandan pasukannya yang setia, Tengku Ilyas Leube, pun turun gunung.
Bulan Desember perdamaian dirumuskan dalam Musyawarah Kerukunan Rakyat
Aceh.
setelah pemberontakan DI/TII melemah, Hasan Tiro ikut melunak.
Pertengahan 1974 dia kembali ke Aceh. Dalam pertemuan dengan gubernur
Aceh saat itu, Muzakir Walad, Hasan Tiro meminta agar perusahaannya bisa
menjadi kontraktor pembangunan tambang gas di Arun.
Tapi Muzakkir Walad tak dapat memenuhi permintaan ini. Bechtel Inc.,
sebuah perusahaan dari California, Amerika Serikat, telah ditunjuk
pemerintahan Orde Baru Soeharto sebagai kontraktor pembangunan pabrik
gas Arun.
Foto diambil dari The Unfinished Diary of Tengku Hasan Di
Tiro. Beberapa saat sebelum Hasan Tiro kembali ke Aceh bulan Oktober
1976. Caption foto tertulis sebagai berikut:
From right: Secretary General of the United Nations, Dr. Kurt
Waldheim; Ambassador of France; H. H. Tengku Hasan di Tiro, President of
Doral International Ltd. and Chairman of Atjeh Institute in America;
Philippine Ambassador for the U.N. On the occasion of the signing of
International Tin Agreement, 1976, at the United Nations Headquarters in
New York. Photo by Gamma Diffusion, Paris.
Hasan Tiro kembali kecewa. Baginya, ini adalah bukti bahwa janji
otonomi daerah dan hak daerah mengelola sumber alam hanya bohong belaka.
Kekecewaannya pun semakin bertambah setelah syariat Islam yang
dibicarakan dalam konsep “Prinsipil Bijaksana” antara Daud Beureuh dan
pemerintah pusat tak kunjung dilaksanakan.
Hasan Tiro kembali menggalang kekuatan, mengambil alih posisi puncak
dari tangan Daud Beureuh yang saat itu sudah turun dari panggung politik
Aceh. Dia menghubungi tokoh penting mantan anggota DI/TII seperti
Teungku Ilyas Leube, yang dikenal sebagai salah satu pengikut setia Daud
Beureueh. Juga Daud Paneuk. Tak lama manuver Hasan Tiro tercium oleh
tentara. Operasi militer disiapkan untuk menangkapnya. Tetapi Tiro
berhasil melarikan diri, pulang ke Amerika Serikat.
Sebelum meninggalkan Aceh dia berjanji akan kembali datang untuk
menyusun kekuatan yang jauh lebih besar. Dan begitulah, akhirnya kaki
Hasan Tiro kembali menginjak Aceh di pagi hari, 30 Oktober 1976
Perjalanan Hidup
Hasan Tiro adalah Anak kedua pasangan Tengku Muhammad Hasan dan Pocut Fatimah ini lahir di Tiro 25 September 1925.
Hasan Tiro awalnya adalah seorang yang sangat nasionalis. Jauh
sebelum mengobarkan perang total dengan Indonesia. Karena jenius, Hasan
Tiro direkomendasikan Teungku Daud Beureueh kepada Perdana Menteri
Indonesia waktu itu, Syafruddin Prawiranegara, untuk kuliah di UII.
Hasan Tiro diterima di Fakultas Hukum dan tamat tahun 1949
.
Di universitas ini namanya tercatat sebagai pendiri Pustaka UII
bersama Kahar Muzakkar, tokoh Sulawesi Selatan yang kelak menggerakkan
pemberontakan DI/TII bersama Daud Beureueh dan Imam Kartosuwiryo
(1953-1962)
.
Lulus dari UII, ia kemudian mendapat beasiswa dari pemerintah
Indoensia untuk melanjutkan pendidikanya ke Amerika Serikat. Ia
mengambil jurusan Ilmu Hukum International di Universitas Columbia.
Setelah menyelesaikan program doktor ia masih sempat bekerja di KBRI di
Amerika.
Pada tahun 1953, Aceh diguncang pemberontakan Darul Islam, yang
dipimpin langsung oleh Teungku Daud Beureueh, Aceh melawan Jakarta,
karena Soekarno dianggap ingkar janji
.
Dan Pandangan politiknya mulai berbalik 180 derajat ketika
pemerintah Indonesia di masa Perdana Menteri Ali Sastroamidjo
(1953-1955) mengejar pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia
(DI/TII) hingga ke pedalaman Aceh. Menurut salah satu surat kabar di New
York bahwa sekitar 92 warga sipil di Pulot, Cot Jeumpa Leupung, Aceh
Besar, dibantai serdadu republik pada 26 Februari 1954. Ini ekses akibat
ditembaknya belasan prajurit Indonesia oleh mujahidin DI/TII Aceh dua
pekan sebelumnya. Karena para mujahid sudah menghilang dari kawasan itu,
maka warga sipillah yang dijejerkan di pinggir laut, lalu ditembak
mati. Hanya satu yang tersisa hidup. Ia pula yang membeberkan
pembantaian sadis itu kepada Acha, wartawan Harian Peristiwa. Asahi
Simbun, Washington Post, dan New York Times ikut melansir berita
tersebut
.
Dari kota “melting pot” New York, spontan ia layangkan
surat pada 1 September 1954 kepada Perdana Menteri Indonesia Ali
Sastroamidjojo. Ia desak Indonesia untuk segera minta maaf dan mengakui
bahwa pembantaian warga sipil tersebut merupakan genosida (pembantaian
etnis Aceh). Para pelaku dimintanya agar dihukum berat
.
Menurut Hasan Tiro persoalan yang dihadapi Indonesia sesungguhnya
bukan tidak bisa dipecahkan, tetapi Ali Sastroamidjojolah yang mencoba
membuatnya menjadi sukar. Menurutnya jika Ali Sastroamidjojo mengambil
keputusan untuk menyelesaikan pertikaian politik tersebut dengan jalan
semestinya, yakni perundingan, maka keamanan dan ketentraman akan
meliputi seluruh tanah air Indonesia pada saat itu
.
Oleh karena itu, demi kepentingan rakyat Indonesia Hasan Tiro menganjurkan Ali Sastroamidjojo mengambil tindakan: Pertama,
Hentikan agresi terhadap rakyat Aceh, rakyat Jawa Barat, Jawa Tengah,
rakyat Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan rakyat Kalimantan. Kedua,
Lepaskan semua tawanan-tawanan politik dari Aceh, Sumatera Selatan,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan rakyat
Kalimantan. Ketiga, Berunding dengan Teungku Muhammad
Daud Beureuh, S.M. Kartosuwirjo, Abdul Kahar Muzakar, dan Ibnu Hajar.
Jika sampai pada tanggal 20 September 1954, anjuran-anjuran ke arah
penghentian pertumpahan darah ini tidak mendapat perhatian Ali
Sastroamidjojo, maka untuk menolong miliunan jiwa rakyat yang tidak
berdosa yang akan menjadi korban keganasan agresi yang Ali
Sastroamidjojo kobarkan, Maka Hasan Tiro dan putera-puteri Indonesia
yang setia, akan mengambil tindakan-tindakan berikut:
- Pertama, Kami akan membuka dengan resmi perwakilan
diplomatik bagi Republik Islam Indonesia di seluruh dunia, termasuk di
PBB, benua Amerika, Asia dan seluruh negara-negara Islam.
- Kedua, Kami akan memajukan kepada General Assembly
PBB yang akan datang segala atas kekejaman, pembunuhan, penganiayaan,
dan lain-lain pelanggaran terhadap Human Right yang telah dilakukan oleh
regime Komunis–Fasis Ali Sastroamidjojo terhadap rakyat Aceh. Biarlah
forum Internasional mendengarkan perbuatan-perbuatan maha kejam yang
pernah dilakukan di dunia sejak zamannya Hulagu dan Jenghis Khan. Kami
akan meminta PBB mengirimkan komite ke Aceh. Biar rakyat Aceh menjadi
saksi.
- Ketiga, Kami akan menuntut regime Ali
Sastroamidjojo di muka PBB atas kejahatan genoside yang sedang Ali
Sastroamidjojo lakukan terhadap suku bangsa Aceh.
- Keempat, Kami akan membawa ke hadapan mata seluruh
dunia Islam, kekejaman-kekejaman yang telah dilakukan regime Ali
Sastroamidjojo terhadap para alim ulama di Aceh, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Sulawesi Selatan dan Tengah dan sebagian Kalimantan.
- Kelima, Kami akan mengusahakan pengakuan dunia Internasional terhadap Republik Islam Indonesia, yang sekarang de facto menguasai Aceh sebagian Jawa Barat dan Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Tengah dan sebagian Kalimantan.
- Keenam, Kami akan mengusahakan pembaikotan
diplomasi dan ekonomi internasional terhadap regime Ali Sastroamidjojo
dan penghentian bantuan teknik dan ekonomi PBB, Amerika Serikat dan “Colombo Plan”.
- Ketujuh, Kami akan mengusahakan bantuan moral dan
materi buat Republik Islam Indonesia dalam perjuangannya menghapus
regime teroris Ali Sastroamidjojo dari Indonesia.
Setelah lewat 20 September 1954 anjuran-anjuran Hasan Tiro tidak
diindahkan. Ali Sastroamidjojo kemudian mengirimkan delegasinya ke PBB
untuk membuat serangkaian fitnah-fitnah keji kepada Hasan Tiro,
diantaranya menyatakan bahwa Hasan Tiro mendapat sokongan dari golongan
bukan Indonesia dan ancaman bahwa setiap campur tangan untuk membantu
gerombolan Darul Islam akan ditolak dan pada hakekatnya merupakan
perbuatan yang tidak bersahabat terhadap Republik Indonesia. Hasan Tiro
berjuang keras di New York untuk memasukkan persoalan DI/TII ke dalam
forum PBB dengan tujuan supaya kepada rakyat Aceh terutama diberi hak
menentukan nasib sendiri (self determination). Akan tetapi usaha mulianya ini menemukan kegagalan
.
Selain itu Pemerintah mencabut Paspor diplomatik Hasan Tiro supaya
Hasan Tiro diusir dari Amerika akibatnya 27 September 1954 Hasan Tiro
ditahan oleh Jawatan Imigrasi New York. Tetapi karena bantuan beberapa
orang senator, Hasan Tiro diterima sebagai penduduk tetap di Amerika
Serikat. Sejak itu kita tahu dia menjadi pengkritik keras Soekarno
.
Pada 1958, Hasan menulis buku penting di New York berjudul
Demokrasi untuk Indonesia. Dia mengusulkan negara federal untuk
Indonesia, melawan konsep negara persatuan versi Soekarno. Dia
mengkritik pedas sistem negara kesatuan, yang menguntungkan etnis besar
Jawa, dan cuma mendukung apa yang disebutnya“demokrasi primitive”.
Baginya, Indonesia terlalu luas untuk diatur secara sentralistik dari
Jakarta. Pada tahun 1958, Hasan Tiro menuangkan pemikiran dalam buku
berjudul “Demokrasi untuk Indonesia”. Di situ ia tawarkan federasi
sebagai bentuk Pemerintah Indonesia, tujuannya agar hubungan daerah dan
pusat tidak timpang
.
Hasan lalu melompat ke ide yang lebih radikal, dia menggeser
pemikirannya ke nasionalisme Aceh. Pada 1965, pamfletnya “Masa Depan
Politik Dunia Melayu” menolak ide Republik Indonesia. Kata Hasan,
Indonesia tak lain dari proyek “kolonialisme Jawa”, dan warisan tak sah
perang kolonial Belanda. Dengan kata lain, dia menyangkal penyerahan
kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia pada 1949. Baginya, hak merdeka
harus dikembalikan kepada bangsa-bangsa seperti Aceh atau Sunda, yang
sudah berdaulat sebelum Indonesia lahir
.
Sejak itu dia menjelajahi sejarah, menulis sekian pamflet tentang
nasionalisme Aceh. Pada karyanya yang lain, “Atjeh Bak Mata Donja”
(Aceh di Mata Dunia) ditulis dalam bahasa Aceh pada 1968, dia
menguraikan problem absennya kesadaran historis dan politis rakyat Aceh
setelah Perang Belanda. Dia mulai merekonstruksi sejarah Aceh, dan
menegasi segala upaya integrasi dengan republik
.
Hasan mengkaji lima editorial The New York Times sepanjang
April–Juli 1873, fase pertama Perang Aceh melawan Belanda. Dia menggali
kembali patriotisme Aceh. Harian kondang itu mengakui kapasitas
kesultanan Aceh saat berperang melawan Belanda. Perang menentukan ini,
kata Hasan, hanya mungkin dikobarkan karena semua pahlawan Aceh tahu
“bagaimana mati” sebagai manusia terhormat
.
Ada dua dokumen penting yang dia dapat di Markas PBB yang
membulatkan tekadnya untuk memisahkan Aceh dari Indonesia. Dokumen itu
berupa Resolusi PBB tentang Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri (Right to Self Determination). Dokumen lainnya, berupa resolusi bahwa negara kolonial tidak boleh menyerahkan anak jajahannya kepada negara lain
.
Ia menilai, Perang Belanda terhadap Aceh tidak menyebabkan Aceh
takluk dan dikuasai sepenuhnya oleh Belanda. Selain itu, Belanda tak
berdasar menyerahkan Aceh–melalui Konferensi Meja Bundar 1949–kepada
Indonesia (Jawa), mengingat Belanda tak berkuasa penuh atas Aceh, malah
lari meninggalkan Aceh, setelah tentara Jepang diundang ulama masuk Aceh
.
Ditambah alasan-alasan sejarah, etnosentris, dan penguasaan ekonomi
oleh Jakarta atas Aceh, membuat Hasan Tiro punya banyak alasan
menyambung perjuangan kakek buyutnya, Tgk Chik Di Tiro, untuk
mempertahankan kedaulatan Aceh. Ia mengimajinasikan sebuah
negara/kerajaan sambungan (succesor state). Untuk itu, Aceh harus mandiri dari Indonesia.
.
Kamp militer di Libya
Hasan paham, Aceh tak mudah diarak ke jalan merdeka. Satu-satunya
cara adalah mencari pengakuan internasional, dan berjuang dengan tema
hak menentukan nasib sendiri. Hasan melakukan lobi internasional, dan
terus berkampanye tentang “dekolonisasi” Indonesia. Pada masa
1980-1990an, dia bergandengan dengan gerakan separatis lain, seperti
Timor Timur (Fretilin) dan Republik Maluku Selatan (RMS).
Pada 1980an, ketika gerakannya dipukul secara militer, Hasan
membangun kembali gerakan bersenjatanya di luar Aceh. Pada 1986, dia
memilih Libya sebagai kamp pelatihan militer. Selama empat tahun
kemudian, dia melatih hampir 800 pemuda Aceh. Tak hanya ketrampilan
militer, tapi juga dan ideologi keAcehan. Selama di Libya, Hasan
terlibat intensif dalam gerakan anti-imperialisme. Selama tahun-tahun
itu dia ditunjuk selaku Ketua Komite Politik World Mathabah, satu
organisasi revolusioner berbasis di Tripoli. Wadah itu didirikan
pemimpin Libya Muamar Khadafi, untuk suatu proyek melawan hegemoni
Amerika. Dalam bahasa politik, inilah front menentang imperialisme,
rasisme, zionisme dan fasisme.
.
DOM (Daerah Operasi Militer)
Pemerintahan Fasis Orde Baru segera mengantisipasi gerakan ini.
Berbagai aksi militer dilancarkan. Aceh kemudian di jadikan ladang
Daerah Operasi Militer (DOM). Akibatnya tindak kekerasan/penyiksaan,
penangkapan tanpa prosedur, penculikan, pelecehan seksual dan
pemerkosaan, penghilangan nyawa manusia dan praktek-praktek pelanggaran
hukum dan HAM lainnya berlangsung hampir setiap saat
.
Pembantaian rakyat Aceh selama berlangsungnya Operasi Militer sejak
1989 hingga 1998 mencapai 30.000 nyawa. Sungguh malapetaka peradaban
yang hanya bisa terjadi dalam masyarakat primitif. Maka orang yang wajib
bertanggungjawab atas pembantaian-pembantaian tersebut dan segera
disidangkan ke masjlis Umum PBB atas nama penjahat perang adalah
Jenderal Soeharto, Jenderal (Purn) L. B. Moerdani, Jenderal (Purn) Try
Sutrisno, Letjen (Purn) Syarwal Hamid, Jenderal (Purn) Feisal Tanjung,
Mayjen (Purn) H. R. Pramono, Letjen Prabowo Subianto, Ibrahim Hasan
(Gubernur Aceh periode 1986-1993)
.
Pasca jatuhnya pemerintahan Pembantai Rakyat Soeharto, isu “Aceh
merdeka” kembali menjadi sorotan dunia. pada 25 Januari 1999 Hasan Tiro
menandatangani surat perihal GAM yang dikirim kepada Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Akhir tahun 2002, Hasan Tiro menandatangani
deklarasi berdirinya Negara Aceh Sumatra
.
Perdamaian
Pada tahun 2000 status darurat militer akhirnya diturunkan menjadi
darurat sipil. Dan akhirnya Allah menggenapkan darurat Aceh dengan
darurat Tsunami, tepatnya pada tanggal 26 Desember 2004 tsunami telah
meluluh lantakkan bumi Serambi Mekkah tersebut. Sekitar 200.000 warga
Aceh meninggal dan hilang. Hasan Tiro yang saat itu menonton tayangan
televisi di Norsborg, Swedia, menitikkan air mata. Aceh yang ingin dia
rebut sedang luluh lantak. Terjerembab ke titik nadir peradaban. Perlu
kondisi damai untuk membangun kembali Aceh dari keterpurukan
.
Lalu, Zaini Abdullah dan Malik Mahmud menyahuti tawaran RI untuk
berdamai. Kita melihat bagaimana episode pergolakan ini selesai di meja
perundingan di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005. Perdamaian ini pula
yang memungkinan Zaini Abdullah dan Malik Mahmud yang awalnya paling
dicari aparat keamanan Indonesia, bisa leluasa pulang ke Aceh.
.

Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) yang dideklarasikan Teungku Hasan Tiro pada 4
Desember 1976 adalah gagasannya sejak Januari 1965 untuk membentuk
Negara Aceh. Baginya, nilai adat Aceh telah dicampakan oleh kemajuan
industri pada masa Soeharto.
Hasan Tiro bersama para ulama Aceh menilai kekayaan alam Aceh dikuras
melalui pembangunan industri yang dikuasai orang asing melalui restu
pemerintah pusat. Tetapi rakyat Aceh tetap miskin, pendidikan rendah dan
kondisi ekonomi sangat memprihatinkan.
Bersama para tokoh eks DI/TII dan tokoh muda Aceh pada waktu itu
mengadakan rapat mendirikan GAM kaki Gunung Halimun, Pidie. Walaupun
Hasan Tiro yang tak hadir dalam pendirian GAM yang ditunjuk sebagai wali
negara. GAM terdiri atas 15 menteri, empat pejabat setingkat menteri
dan enam gubernur.
Sebenarnya sejak 1970-an Hasan Tiro sudah sepakat dengan Daud
Beureueh untuk mendirikan Republik Islam Aceh. Hasan Tiro sendiri sudah
hampir mengirimkan senjata dari AS saat dia masih belajar di sana.

Kontroversi ini sebenarnya masih mengalir sampai sekarang. Ada yang
menganggap, setelah Daud Beureueh turun gunung, ia tidak pernah lagi
terlibat dalam gerakan politik. Perlawanan yang diusung GAM, sama sekali
tidak terkait dengan DI/TII.
“Kalau Hasan Tiro kan menuntut kemerdekaan, sedangkan DI/TII melawan
karena kecewa,” kata M Jasin, mantan Pangdam Iskandar Muda yang dianggap
berhasil mengajak Daud Beureueh turun gunung.
Tak hanya Jasin, tokoh-tokoh senior di Aceh juga banyak yang
mendukung argumen itu. Dalam sebuah tulisannya di Republika, almarhum
Ali Hasjmy, mantan Gubernur Aceh, memutus kaitan GAM dan Abu Beureueh.
Menurutnya, GAM dan Hasan Tiro adalah gerakan kriminal, sedangkan DI/TII
adalah gerakan politik murni.
Tak heran jika awal-awal perlawanan GAM, Pemerintah Indonesia
menuding mereka sebagai gerombolan pengacau keamanan (GPK). Stigma
kriminal dimunculkan untuk memutus dukungan pengikut Daud Beureueh yang
dikenal sebagai legenda bagi warga Aceh.
Nyatanya, upaya membumikan GAM sebagai kelompok kriminal tetap gagal.
Hasan Tiro kadung jadi ikon perlawanan rakyat yang baru, terutama di
masa Orde Baru. Lihat saja daftar tokoh pertama yang bergabung dalam
GAM. Banyak di antara mereka adalah bekas pendukung DI/TII. Sebut saja
Teungku Ilyas Leube dan Daud Husin alias Daud Paneuek (paneuek artinya
pendek). Ilyas adalah ulama yang disegani di Aceh Tengah dan merupakan
pendukung setia Daud Beureueh. Dalam susunan kabinet GAM pertama, Ilyas
duduk sebagai Menteri Kehakiman, sedangkan Daud Paneuek sebagai Panglima
Angkatan Bersenjata.
Menurut Baihaqi, mantan pasukan DI/TII, keputusan Ilyas mendukung GAM
semata-amata karena kecewa dengan sikap pemerintah yang ternyata hanya
memberi janji omong kosong kepada Aceh. “Ilyas orangnya sangat peka
terhadap agama. Ketika Syariat Islam tidak berjalan di Aceh, ia orang
yang paling marah” kata Baihaqi yang juga sepupu Ilyas.
Padahal, saat Daud Beureueh turun gunung, pemerintah berjanji
memberikan tiga keistimewaan untuk Aceh: syariat Islam, pendidikan, dan
budaya. Nyatanya, semua janji itu tak dipenuhi. Tak heran, begitu Hasan
Tiro mengumandangkan perlawanan di paruh akhir tahun 1970-an, Ilyas pun
menjadi orang pertama yang mendukung.
Ketika GAM masih dalam bentuk rancangan, menurut Baihaqi, sebenarnya
Daud Beureueh sudah diberi tahu masalah itu. Hanya saja, Beureueh tak
mungkin lagi angkat senjata karena di tahun 1976, saat Hasan Tiro datang
ke Aceh untuk kedua kalinya, Abu Beureueh sudah berusia 77 tahun.
“Ayahanda tidak perlu berperang. Biar kami saja yang melakukan
perlawanan. Kami hanya perlu dukungan dari Ayahanda,” demikian bujuk
Hasan Tiro kepada Daud Beureueh seperti ditirukan Baihaqi kepada
acehkita.
Sebagai asisten pribadi Abu Beureueh, Baihaqi tahu persis dialog itu.
Apalagi, ia masih memiliki hubungan darah dengan Ilyas Leube. “Jadi
kalau dikatakan Daud Beureueh mendukung Hasan Tiro, itu bisa jadi
benar,” katanya. Bedanya, di masa DI/TII, Daud Beurueh mengumumkan
perlawanan secara resmi dan terbuka kepada seluruh masyarakat Aceh,
tetapi di masa GAM, ia lebih banyak diam.
Hubungan Daud Beureueh dan Hasan Tiro sebenarnya pernah memburuk.
Dalam bukunya, Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka, wartawan Neta S
Pane menulis, saat pulang ke Aceh pada 1975, Daud Beureueh pernah
memberikan uang sebesar Rp 12,5 juta kepada Tiro untuk membeli senjata.
Singkat cerita, saat muncul lagi pada 1977, alangkah terkejutnya
tokoh-tokoh GAM karena tak mendapatkan apa yang diharap. “Hasan Tiro
hanya membawa tiga pucuk pistol jenis colt dan dua pucuk senjata double
loop. Beberapa tokoh GAM mengejeknya bahwa senjata itu hanya cukup untuk
membunuh babi hutan,” tulis Neta yang kini mengelola Lembaga Pengamat
Polri (Gamatpol).
Meski demikian, Daud Beureueh tak pernah marah kepada Hasan Tiro.
Dukungan Daud Beureueh kepada GAM juga dibenarkan Zakaria, seorang tokoh
GAM yang tinggal di Thailand. Menurutnya, saat Hasan Tiro melakukan
pendidikan politik di hutan, beberapa kali Daud Beuerueh mengirimkan
bantuan kepada mereka. “Saya sering sekali disuruh Daud Beureueh
menyampaikan bantuan itu,” akunya.
Bantuan tak hanya berupa uang, tapi juga bahan makanan untuk Hasan
Tiro dan pendukungnya. Dukungan Daud Beureueh kepada GAM pada masa itu
diberikan karena Hasan Tiro bertekad mendirikan negara Islam di Aceh.
Zakaria sendiri termasuk pendukung Hasan Tiro paling setia. Ketika
operasi militer berlangsung pada 1983, ia berhasil melarikan diri ke
Malaysia. Pertemuan terakhir acehkita dengan Zakaria berlangsung di
Thailand, dua tahun lalu.
Dalam barisan GAM, Zakaria yang saat ini berusia sekitar 69 tahun,
menjabat sebagai Menteri Pertahanan yang ditempatkan di Thailand. Dia
orang penting yang berperan sebagai penyedia senjata untuk GAM. Senjata
itu dibeli dari perbatasan Kamboja dan Vietnam, selanjutnya dikirim
melalui pesisir pantai Malaysia menuju pantai Aceh Timur.
Zakaria mengisahkan, untuk menyampaikan bantuan dari Daud Beureueh
kepada Hasan Tiro, ia harus berhati-hati. Soalnya, sejak 1977, setahun
setelah kemerdekaan GAM diproklamasikan, pemerintah mulai mendatangkan
pasukan ke Aceh.
Setelah Hasan Tiro kembali ke Amerika pada 1979, kekuatan GAM tak
luntur. Semakin lama, pengikutnya kian banyak. Intelijen TNI sendiri
disebut-sebut mengetahui kalau Daud Beureueh memberi dukungan moral
kepada GAM. Untuk mencegah meluasnya pengaruh ulama itu, dalam sebuah
operasi intelijen yang dipimpin Lettu Sjafrie Sjamsoeddin (sekarang
Sekjen Departemen Pertahanan berpangkat Mayjen), pada 1 Mei 1978, Daud
Beureueh dibawa secara paksa. Ia tak kuasa melawan karena sudah dibius.
Daud Beuereueh dibawa ke Medan selanjutnya diterbangkan ke Jakarta untuk
selanjutnya ditempatkan di sebuah rumah mewah di bilangan Tomang,
Jakarta Barat, sebagai tahanan di sangkar emas.
Ini upaya mengungsikan Daud Beureueh kedua kalinya setelah pada 1971
ia ‘dipaksa’ keliling Eropa untuk mencegah pengaruhnya meluas di Aceh
saat berlangsungnya pemilu. Daud Beureueh sendiri adalah pendukung PPP.
Saat Abu Beuereueh menetap di Jakarta, operasi penumpasan GAM
dilakukan besar-besaran. Satu demi satu orang-orang dekat Hasan Tiro
tewas. Sebut saja Dr Muchtar Hasbi, seorang intelektual muda Aceh, 35
tahun, yang tewas setelah disiksa. Mayatnya dikembalikan ke keluarganya
dalam keadaan tanpa pakaian. Muchtar Hasbi adalah Perdana Menteri
pertama GAM.
Dr Zubir Mahmud, 29 tahun, yang dalam kabinet GAM menduduki jabatan
sebagai Menteri Sosial, juga tewas ditembak tak jauh dari rumahnya pada
Mei 1980. Selain itu, Teungku Haji Ilyas Leube yang menggantikan posisi
Muchtar sebagai Perdana Menteri, juga tewas di ujung peluru pada Juli
1982.
Para sejarawan Aceh menyebut, Daud Beureueh sebenarnya sangat kecewa
dipindahkan ke Jakarta. Selain karena ruang gerak yang selalu diawasi,
ia juga sedih karena dijauhkan dengan murid-muridnya. Ia menjadi
terhalang menyampaikan ajaran-ajaran Islam. Ia pun tak lagi bisa tampil
sebagai imam masjid. Tapi ia sendiri tak kuasa melawan karena
kesehatannya sudah menurun. Ia menetap di Jakarta bersama anak dan
cucunya dengan fasilitas dari pemerintah.
Kegelisahan Teungku Daud itu dirasakan sahabat dan murid-muridnya.
Beberapa orang yang penah dekat dengannya, antara lain Ali Hasjmy (saat
itu sebagai Rektor IAIN Ar-Raniry setelah pensiun dari Gubernur Aceh)
dan Teungku H Abdullah Ujongrimba (Ketua MUI Aceh), melobi Wakil
Presiden Adam Malik agar memulangkan Daud Beureueh ke Aceh. Mereka
menjamin, selama di Aceh, Daud Beureueh tak akan memberikan perlawanan
kepada pemerintah, apalagi ikut mendukung GAM.
Harapan itu terkabul. Pada 1982 ulama simbol perlawanan itu kembali
ke Bumi Seulanga. Malangnya, pada 1985, ia terjatuh dari tempat tidur
sehingga engsel pinggulnya mengalami gangguan. Sejak itu ia tidak bisa
berdiri. Tamu-tamu yang datang mengunjunginya tetap disambut secara
terbuka. Legenda Aceh itu akhirnya meninggal dunia pada 10 Juni 1987.
Jasadnya dimakamkan di bawah pohon mangga di pekarangan Masjid Baitul
A’la lil Mujahidin di Beureunen. Seluruh Aceh berduka. Sejak itu,
tragedi demi tragedi berkali-kali singgah di bumi Serambi Mekkah. Dua
tahun setelah kepergian sang tokoh, Tanah Rencong bersimbah darah dengan
digelarnya Operasi Jaring Merah atau pemberlakuan Daerah Operasi
Militer (DOM).
Sepeninggal Daud Beureueh, Hasan Tiro pun menjadi simbol perlawanan baru, lengkap dengan segala kontroversinya
.
Pulang Kampung
Pada 9-10 Oktober 2008 Ratusan kendaraan yang membawa ribuan warga
Aceh yang datang dari berbagai kabupaten seperti Aceh Timur, Aceh Utara,
Bireun, dan Pidie memadati Banda Aceh. Mereka berkumpul di Kompleks
Masjid Raya Baiturrahman Kota Banda Aceh dan rela menginap di
tempat-tempat terbuka seperti pelataran Masjid Raya menyambut kedatangan
Wali Nanggroe yang juga proklamator Gerakan Aceh Merdeka Hasan Tiro.
Antusiasme juga terlihat dari pengurus dan simpatisan Partai Aceh,
salah satu partai lokal yang didirikan mantan aktivis GAM. Ratusan
kendaraan yang lalu lalang di berbagai jalan utama kota Banda Aceh
ditempeli berbagai atribut Partai Aceh.
.
Pada 11 Oktober 2008 Pesawat sewaan yang mengangkut mantan pemimpin
GAM Hasan Tiro (83) mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda, Blang
Bintang, Kabupaten Aceh Besar, NAD. Kedatangan Hasan Tiro dan rombongan
dari Kuala Lumpur, Malaysia, dikawal ketat oleh satuan tugas yang
dibentuk Komite Peralihan Aceh
.
Saat turun dari tangga pesawat, Begitu turun dari pesawat, Hasan
Tiro langsung bersujud mendapat kalungan bunga dari Wakil Gubernur NAD
Muhammad Nazar. Dalam rombongan Hasan Tiro terlihat antara lain Gubernur
Irwandi Yusuf dan sejumlah mantan petinggi GAM, yakni Muzakkir Manaf
serta Dr Zaini Abdullah. Hasan Tiro melambaikan tangan ke arah ratusan
orang yang berkumpul di Bandara
.
Dari bandara, rombongan Hasan Tiro langsung menuju Masjid Raya
Banda Aceh, pusat berkumpulnya ratusan ribu warga. Namun, kondisi fisik
dan usia Hasan Tiro tak memungkinkannya berbicara lama secara langsung
dengan massa di hadapannya. Hasan Tiro hanya berpidato secara singkat
dalam bahasa Aceh. ”Assalamualaikum, saya sudah kembali ke Aceh. Allahu
Akbar,” ujarnya
.
Kemudian ia kembali ke Swedia dan akhirnya kembali menetap di Aceh
pada tahun 2010. Masih banyak orang yang berharap ia kembali menjadi
pemimpin sejati masyarakat. Ia lalu dipanggil “Wali Nanggroe”,
penghargaan adat yang tidak pernah diberikan kepada siapapun selain
Hasan Tiro sepanjang sejarah Aceh. Gelar ini diberikan secara “aklamasi”
tanpa sebuah proses apapun. Hampir semua orang Aceh tahu kalau ia
adalah Wali Nanggroe.
.
Sang Wali Pergi
Pada 3 Juni 2010, Hasan Tiro kembali terbaring sakit. Jantung, dan
komplikasi organ dalam, memaksanya berdiam di Rumah sakit Zainoel
Abidin, Banda Aceh. Tekanan darahnya 70-40. Seiring dengan dunia yang
terus berputar, dan waktu menjawab banyak persoalan. Kamis, 4 Juni 2010,
26 jam setelah pemerintah Indonesia memberikan hak kewarganegaraan
Indonesia kepadanya, Hasan Tiro menghembuskan nafas terkahir di Banda
Aceh. Ia dimakamkan di sisi kuburan kakeknya, Teungku Chik Di Tiro, di
Aceh Besar. Di sana ia mengakhiri semua petualangan dan perjuangan
ideologisnya. Pada saat matahari tegak lurus dengan bumi, pada hari itu,
orang-orang Aceh meratap.
.
Innalillahi Wa Innaillaihi Rojiun..
Kamis, 3 Juni 2010 sekitar pukul 12.12 Wib, tokoh kharismatik Aceh
Tengku Muhammad Di Tiro berpulang ke pangkuan illahi di RS Zainal
Abidin.